TULISAN BERJALAN

"KINI TELAH HADIR BINTANG HASANAH TRAVEL dengan penawaran TIKET PESAWAT ter-MURAH. Pesan tiketnya sekarang.. Hubungi kami di 0853 9696 2921"

Minggu, 09 Desember 2012

SEJARAH PENDIRIAN DAN PERKEMBANGAN DINASTI UMAYYAH

A.  Pendahuluan Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan)[1]

Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya.[2] Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Dinasti ini dinisbatkan kepada Umayyah ibn Abd al-Syams ibn Abd al-Manaf, nenek moyang Muawiyah ibn Abu Sufyan. Pendirian dinasti ini mempunyai akar sejarah yang cukup panjang. Salah satunya dendam yang berurat akar dalam diri Umayyah dan keturunannya kepada kelompok Bani Hasyim, nenek moyang Nabi Muhammad.
Umayyah ibn Abd Syams adalah musuh politik Hasyim ibn Abdul Manaf. Keduanya masih keturunan Quraisy. Kedua kubu sering bertarung memperebutkan kedudukan dan kehormatan.[3] Pertarungan mereka berujung pada pertarungan ideologi agama, khususunya ketika Allah memilih salah satu keturunan Hasyim, yaitu Muhammad menjadi Nabi. Mayoritas keturunan Umayyah berada di sebrang kekufuran dan menjadi penentang utama Muhammad, sementara mayoritas keturunan Hasyim berada di sebrang keimanan dan menjadi pendukung utama Muhammad.
Keputusan Allah untuk memilih salah satu keturunan Hasyim menjadi Nabi ini menjadi kekalahan telak bagi Bani Umayyah, karena dengan misi agama baru ini, Muhammad menjadi penguasa jazirah Arab yang paling dihormati sekaligus ditakuti, sementara keturunan Bani Umayyah, yang diwakili oleh keluarga Abu Sufyan menjadi kelompok yang hina, bahkan secara terpaksa dan dalam kondisi terdesak, mereka harus mengikuti agama Muhammad, yaitu masuk islam pada waktu peristiwa Futuh al-Makkah tahun 10 H.
Kekalahan telak ini menjadi kenangan pahit yang tidak bisa dilupakan oleh keturunan Umayyah, sehingga di kemudian hari, salah satu penerusnya, yaitu Muawiyah melakukan berbagai cara untuk membangun kekuasaan yang lebih besar dibanding apa yang telah dilakukan Muhammad.
Muawiyah berhasil membangun pemerintahan melebihi apa yang telah di bangun oleh saudaranya, Muhammad. Dengan mencontoh model pemerintahan Persia dan Bizantium, dinastinya mampu memperluas kekuasaan islam yang tidak bisa dilakukan oleh pemimpin islam sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar ini seperti Muawiyah I, Abd al-Malik, al-Walid I, dan Umar ibn Abdul Aziz melakukan revolusi pemerintahan yang melahirkan peradaban islam yang luar biasa.
Namun, sehebat-hebatnya sebuah kekuasaan politik, pada akhirnya akan mengalami kemunduran atau kehancuran. Kehebatan Dinasti Umayyah hanya bisa dirasakan sampai khalifah Umar ibn Abul Aziz. Setelah pemerintahannya, kekuasaan Dinasti Umayyah semakin surut dan kemudian hancur pada masa raja terakhir, Marwan II, setelah direbut oleh para pemegang bendera hitam, yaitu koalisi antara bani Abbasiyah, Syiah, dan kelompok Khurasan. Maka berkakhirlah masa pemerintahan Dinasti Umayyah jilid I. Kelak salah satu keluarga Dinasti Umayyah yang lolos dari pengejaran kelompok Bani Abbasiyah akan mendirikan Dinasti Umayyah jilid II.
B.    Kelahiran Dinasti Umayyah (41 H – 132 H/661-740) Muawiyah ibn Abi Sufyan, yang pada waktu terbunuhnya Utsman ibn Affan, masih menjabat sebagai gubernur Suriah, menolak membait Ali ibn Abi Tholib sebagai khalifah keempat Khulafaur Rasyidin. Ia malah menuntut Ali untuk bertanggung jawab atas kematian khalifah ketiga itu.[4]. Bahkan ia menyatakan memisahkan diri dari pemerintahan Ali dan dibaiat oleh pengikutnya sebagai khalifah pada tahun 40 H/660 M di Iliya (Yerusalem)[5]. Pembaitan ini menjadi cikal bakal berdirinya dinasti Umayyah dan kelompok Muawiyah ini menjadi bughot pertama dalam sejarah Islam yang memisahakan diri dari pemerintahan islam yang sah. Mereka mendirikan negara di dalam Negara; dengan menjadikan Damaskus menjadi ibu kota pemerintahan islam. Padahal pusat pemerintahan yang sah adalah kufah di bawah kepemimpinan Ali.
Setelah kematian Ali pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M, putra tertua Ali yang bernama al-Hasan diangkat menjadi pengganti Ali. Namun al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai[6] dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.[7]
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”[8]
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
C.  Khalifah-Khalifah[9]Dinasti Umayyah Ada 14 khalifah dinasti Umayyah. Keempat belas khalifah ini berasal dari dua keluarga, yaitu keluarga Abu Sufyan dan Al-Hakam. Kedua-duanya cucu Umayyah bin Abd Syams. Keluarga Abu Sufyan diwakili oleh Muawiyah I, Yazid I, dan Muawiyah II. Keluarga al-Hakam diwakili oleh Marwan I, Abdul Malik, Walid I, Sulaiman, Umar, Yazid II, Hisyam, Walid II, Yazid III, Ibrahim, dan Marwan II. Hubungan geneologis dinasti Umayyah digambarkan dalam pohon silsilah berikut ini.
Hubungan Geneologis Raja-Raja Dinasti Umayyah.[10]













1.      Muawiyah ibn Abu Sufyan atau Muawiyah I (41-60 H/661-679 M) Nama lengkapnya Abu Abdurrahman Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibunyya Hindun ibnt Rubai’ah ibnt Abd Syam.[11] Sebagaimana disebutkan di bagian pendahuluan bahwa Muawiyah seorang politisi ulung dan pendiri dinasti Umayyah. Ia pantas disebut raja terbesar bani Umayyah karena jasa-jasanya dalam membangun fondasi dinasti Umayyah sehingga sanggup bertahan sampai 91 tahun. Hitti menggambarkan sosok Muawiyah ini.
Dalam diri Mu’awiyah seni berpolitik berkembang hingga tingkatan yang mungkin lebih tinggi tinimbang (dibandingkan dengan: penulis) khalifah-khalifah lainnya. Menurut para penulis biografinya, nilai utama yang ia miliki adalah al-hilm, kemampuan luar biasa untuk mengunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan, sebagai gantinya, lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan yang sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.[12]
Pada masa pemerintahnnya, ekpansi wilayah islam diteruskan meliputi dua wilayah utama, yaitu wilayah barat dan wilayah Timur. Di wilayah Barat, kepulauan Jarba di Tunisia, kepulauan Rhodesia, kepulauan Kreta, dan kepulauan Ijih dekat Konstantinopel dapat ditaklukan. Bahkan penaklukan sampai ke daerah Maghrib Tengah (Aljazair). Uqbah ibn Nafi adalah panglima perang yang paling terkenal di wilayah ini. Di kawasan Timur, sebagian daerah-daerah di Asia Tengah dan wilayah Sindh dapat ditaklukan di bawah kepemimpinan Abdullah ibn Ziyad.[13]
Kesuksesan Muawiyah ini karena disokong oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya, yaitu Amr ibn Ash (Gubernur Mesir), Al-Mughirah (Gubernur Kufah), dan Ziyad ibn Abihi (Gubernur Basrah). Ketiga orang ini para politisi ulung yang menjadi andalan Muawiyah.[14]
Selain ketiga orang tersebut, Muawiyah juga sangat dibantu oleh orang-orang Suriah. Mereka masyarakat yang sangat patuh dan setia kepadanya. Mereka berhasil dicetak oleh Muawiyah menjadi kekuatan militer yang berdisiplin tinggi dan terorganisir.[15]
Beberapa keberhasilan Muawiyah selain perluasan daerah islam.
  1. Pencipataan stabilitas nasional. Pada masa pemerintahannya, tidak ada pemberontakan yang berarti kecuali letupan-letupan kecil saja.
  2. Pendirian departemen pencatatan adiminstrasi negara, termasuk pembuatan stempel pertama kali dalam sejarah pemerintahan islam.
  3. Pendirian pelayanan pos untuk menghubungkan wilayah-wilayah kekuasaan dan untuk melakukan konsolidasi diantara pemimpin-pemimpin wilayah tersebut. Pelayanan ini diantaranya menggunakan kuda dan keledai.
  4. Pembangunan departemen pemungutan pajak. Departemen ini mendorong kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat.[16]
Muawiyah meninggal pada bulan April tahun 679 M/60 H. Dunia telah mencatatkan namanya sebagai pemimpin yang paling berpengaruh pada jamannya. Ia telah membangun fondasi kekuasaan yang sangat kokoh. Kelak para penerusnya melanjutkan cita-citanya dengan bertumpu pada fondasi yang sudah dibangunnya.
2.      Yazid ibn Muawiyah (60-64 H/679-683 M) Namanya Yazid ibn Muawiyah ibn Abu Sufyan. Ia khalifah kedua dinasti Umayyah yang dibait langsung oleh ayahnya untuk menggantikannya. Pembaiatan ini menjadi yang pertama kali terjadi dalam sistem politik islam dan semakin mempertegas sebuah sistem pemerintahan turun temurun (Monarki) Dinasti Umayyah.
Mayoritas masyarakat membaitnya, namun Ibnu Umar, Ibnu Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan Husen ibn Ali tidak mau membaitnya. Namun karena dipaksa untuk membait, tokoh-tokoh tersebut kecuali ibn Zubair dan Husen akhirnya membait Yazid sebagai pemimpin pemerintahan.[17]
Kecuali sedikit penaklukan di daerah Afrika dan moralitasnya yang sangat buruk, tidak ada yang menonjol dari diri seorang Yazid. Malah pada masa pemerintahnya, terjadi dua tragedi yang sangat mencoreng sejarah Islam.
Pertama, tragedi Karbala memerah. Pada waktu itu, seorang panglima Yazid yang sangat bengis, yang bernama Ubaidillah ibn Ziyad dan pasukannya mencegat rombongan Husen beserta pengikutnya di Karbala. Pasukan Ziyad membunuh Husen dan pengikutnya dengan cara yang sangat sadis. Kepala Husen diserahkan kepada pemimpinnya, Yazid ibn Abu Sufyan.
Kedua, peristiwa Hurrah dan penghalalan Madinah. Peristiwa ini terjadi karena Abdullah ibn Zubair tidak mau membait Yazid. Ibnu Zubair malah mengumumkan pencopotan Yazid di madinah dan membait dirinya sendiri sebagai pemimpin pemerintahan. Yazid pun mengirimkan pasukan untuk menumpas kelompok Ibnu Zubair. Ratusan sahabat Ibnu Zubair dan anak-anak meninggal dunia. Yazid menghalalkan pertumpahan darah untuk membasmi pemberontakan.[18]
Yazid meninggal dunia pada tahun 64 H / 683 M dengan masa kepemimpinan selama dua tahun. Ia telah menjadi contoh buruknya moralitas seorang pemimpin pemerintahan islam.
3.      Muawiyah bin Yazid (64 H/683 M) Khalifah ketiga Dinasti Umayyah ini tidak banyak diceritakan sejarah. Hal ini dikarenakan pemerintahannya yang sangat pendek. Ia menggantikan ayahnya sebagai raja. Namun ia mengundurkan diri karena sakit. Ia meninggal pada tahun pengangkatannya sebagai raja ketiga Dinasti Umayyah.
4.      Marwan ibn Hakam (64-65 H/683-684 M) Marwan diangkat menjadi khalifah keempat setelah Muawiyah ibn Yazid mengundurkan diri. Ia memerintah hampir satu tahun. Pada saat pemerintahannya, posisinya goyah karena mayoritas masyarakat lebih mempercayai Abdullah ibn Zubair sebagai pemimpin yang sah. Sehingga hal ini menyebabkan dualisme kepemimpinan, yaitu kepemimpinannya yang berpusat di Suria, Damaskus dan kepemimpinan Abdullah ibn Zubair yang berpusat di daerah Hijaj (makkah dan Madinah).
5.      Abdul Malik ibn Marwan (73-86 H/ 692-702 M) Setelah Yazid ibn Muawiyah diangkat oleh ayahnya sebagai khalifah, Abdullah ibn Zubair, salah satu tokoh yang menolak membait Yazid, lari ke Makkah dan membaiat dirinya sebagai Raja. Setelah Yazid meninggal dunia maka Ibnu Zubair semakin berkuasa, apalagi raja Muawiyah II yang ditunjuk menggantikan Yazid sakit-sakitan dan mengundurkan diri. Kekuasaa Ibnu Zubair semakin luas. Ia berkuasa dari tahun 64 sampai 73 H.
Di pihak Dinasti Umayyah sendiri, setelah kematian Marwan bin Hakam, putranya yang bernama Abdul Malik dibait menggantikan ayahnya pada tahun 65 H. Namun penggantian ini belum sepenuhnya legal, sebab Ibnu Zubair masih berkuasa. Oleh karena itu, seteleh Ibnu Zubair terbunuh pada tahun 73 H, maka sejak itu Abdul Malik resmi menjadi khalifah kelima Dinasti Umayyah.
Abdul Malik dianggap sebagai pendiri kedua Dinasti Umayyah. Hal ini disebabkan ia mampu membangun kembali kebesaran dinasti Umayyah setelah hampir punah pada jaman raja Muawiyah II sampai menjelang kematian Ibnu Zubair. Ia juga diberi gelar Abdul Muluk, karena empat putranya menjadi penerusnya sebagai raja dinasti Umayyah. Mereka adalah al-Walid II, Sulayman, Yazid II, dan Hisyam.
Beberapa kemajuan pada masa Abdul al-Malik adalah membangun nasionalisasi Arab dengan membuat mata uang sendiri dan menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa resmi administrasi pemerintahan. Ia meninggal pada tahun 86 H/705 M dan memerintah secara resmi selama 13 tahun.[19]
6.      Walid ibn Abdul Malik (86-96 H/705-714 M). Walid terkenal sebagai seorang arsitektur ulung pertama dalam sejarah Islam. Dia banyak mendirikan bangunan-bangunan yang megah dalam sekala besar, diantaranya membangun Masjid Damaskus, membangun Qubbat al-Shakhrah di Yerusalem dan memperluas Masjid Nabawi.[20]
Selain terkenal dengan membangun infrastruktur yang megah, pada masa pemerintahannya, penaklukan kawasan islam diperluas. Pasukannya berhasil menaklukan Sisilia dan Merovits, Afrika, dan Andalusia di bagian barat. Pada masa ini hidup seorang panglima besar islam asal Barbar, yang bernama Thariq ibn Ziyad. Ia berhasil menduduki Andalusia pada tahun 92 H / 710 M. Di kawasan timur, pasukan Walid berhasil menguasai Asia Tengah dengan panglimanya yang terkenal, yaitu Qutaibah ibn Muslim al-Bahili. Sind dan India pun berhasil ditaklukan di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim Ats-Tsaqafi. Penaklukan ini menjadikan wilayah islam semakin luas.[21]
Walid berkuasa sampai tahun 96 H/ 714 M. Ia salah satu negarawan besar dinasti Umayyah. Ia dikenal dengan jasa-jasanya membangun peradaban islam yang ada sampai sekarang. Penerusnya tidak mampu melakukan apa yang telah dilakukannya.
7.      Sulayman ibn Abdul Malik (96-99 H/ 714-717 M). Sulayman diangkat oleh ayahnya, Abdul Malik untuk menjadi pemimpin pemerintahan islam setelah Walid mangkat. Ia saudara laki-laki Walid. Namun, Walid telah bersekongkol untuk menurunkan Sulaeman dari jabatannya dan menggantikannya dengan anaknya, yaitu Yazid II. Namun Sulayman ternyata menunjuk anak pamannya, Umar ibn Abdul Aziz untuk menggantikanya[22]. Tidak banyak yang bisa dijadikan sebagai bukti kemajuan pemerintahannya, kecuali keputusannya untuk menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya. Keputusannya itu menjadi karya Sulaeman yang paling hebat. Ia meninggal pada tahun 99 H/ 717 M.
8.      Umar  ibn Abdul Aziz (99-101 H/ 717-719 M) Umar ibn Abdul Aziz adalah putra saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang sangat sederhana, adil dan jujur.[23] Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahuan, namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.[24]
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Oleh karena itu, ia mengirim para mubalig ke daerah kekuasaan islam, yang otoritas agamanya bukan islam.
Umar mangkat dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.
9.      Yazid ibn Abdul Malik atau Yazid II (101-105 H/719-723 M) Konsepsi pemerintahan yang telah dibangun Umar “dihancurkan” oleh cara kepemimpinan Yazid II. Ia memperkaya diri dan suka menghambur-hambrukan uang untuk memenuhi hasrat duniawinya. Badri Yatim menjelaskan karakter khalifah kesembilan Dinasti Umayyah ini.
Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada jamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik.[25]
Yazid memerintah selama hampir empat tahun. Kepemimpinannya  buruk dan diwarnai oleh adanya konfrontasi dari masyarakat. Tidak ada kemajuan yang layak dicatat dalam sejarah. Ia meninggal dunia pada tahun 105 H/742 M. Selanjutnya kepemimpinan dipegang oleh saudaranya, Hisyam ibn Abdul Malik.
10.  Hisyam ibn Abdul Malik (105-125 H/ 723-742 M) Siapakah khalifah kesepuluh Dinasti Umayyah ini? Badri Yatim memasukan Hisyam sebagai salah satu dari lima khalifah besar Dinasti Umayyah, selain Muawiyah ibn Abu Sufyan, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, dan Umar ibn Abdul Aziz.[26] Hiiti memasukannya sebagai negarawan ketiga dan terakhir Dinasti Umayyah setelah Muawiyah ibn Abu Sufyan dan Abdul Malik.[27] Hal ini karena pada masa pemerintahnnya, terjadi perbaikan-perbaikan administrasi dan menghidupkan tanah-tanah yang mati.
Kami kurang sependapat dengan pemikiran dua penulis tersebut. Kami tidak menemukan alasan atau data yang kuat dari para penulis tersebut dan tidak juga kami menemukan referensi yang mendukung. Malahan dikatakan oleh penulis lain bahwa selama hampir dua puluh tahun memerintah, negara mengalami kemorosotan dan melemah.[28] Hal ini disebabkan banyaknya rongrongan dari luar dan perpecahan dari dalam pemerintahan. Rongrongan dari luar diantaranya pemberontakan oleh Zaid ibn Ali ibn Husen sebagai refresentasi dari kelompok Syiah Zaidiyah dan seruan pembentukan pemerintahan Abbasiyah. Dari dalam karena adanya konflik orang-orang Arab Selatan dan Arab Utara.[29]
11.  Walid bin Yazid ibn Abdul al-Malik atau Walid II (125-126 H/ 742-743 M)      Penerus Hisyam, Walid bin Yazid tidak mampu mengembalikan pemerintahan menjadi lebih baik. Malahan keadaan pemerintahan menjadi lebih buruk. Alasannya, selain musuh semakin kuat, ia juga meniru gaya hidup ayahnya, Yazid ibn Abdul Malik. Dia banyak menciptakan permusuhan. Oleh karena itu, saudara sepupunya, Yazid ibn al-Walid-yang kelak menjadi pengganti Walid-memerintahkan untuk mencopot Walid dari jabatannya. Setelah hampir tiga tahun memerintah, Walid pun dibunuh oleh pasukan Yazid ibn al-Walid dan ia mengantikan kedudukan Walid.
12.  Yazid bin Walid atau Yazid III (126 H/743 M) Pada masa jabatannya, pemerintahan semakin kacau. Pemberontakan di mana-mana. Keluarga khalifah pun sudah terpecah. Akhirnya Yazid III meninggal dunia akibat penyakit tha’un setelah memerintah selama enam bulan.[30]
13.  Ibrahim ibn al-Walid ibn Abd al- Malik (127 H / 744 M) Dia hanya memerintah selama 70 hari. Oleh karena itu, ada yang tidak memasukannya sebagai salah satu khalifah Dinasti Umayyah. Pada masanya, tanda-tanda kehancuran Dinasti Umayyah semakin jelas. Perpecahan diantara keluarga semakin terbuka. Ia dituntut oleh Marwan ibn Muhammad ibn Marwan untuk mempertanggung jawabkan kematian Walid II yang dibunuh oleh Yazid III, kakak Ibrahim. Ia melarikan diri dari Damaskus. Marwan sampai ke Damaskus dan dibaiat sebagai khalifah terakhir Dinasti Umayyah Jilid I.
14.  Marwan ibn Muhammad ibn Marwan atau Marwan II (127-132 H / 744 – 749 M) Setelah dibait sebagai raja, ia mencoba memperbaiki keadaan pemerintahan yang sudah kacau balau. Ia mencoba menjalankan roda pemerintahan yang sudah lemah. Namun roda pemerintahan sudah sangat rusak, sehingga pemerintahan bukan menjadi baik, malah menjadi hancur.
Pada masa ini kekuatan kaum pemberontak yang diantaranya diwakili oleh kaum khawarij dan keturunan Abbas ibn Abdul Mutholib semakin kuat. Malah kelompok Abbasiyah ini berani memproklamirkan berdirinya Dinasti Abbasiyah pada tahun 129 H/ 446 M, yang dipimpin oleh Ibrahim. Marwan berhasil menagkap dan membunuhnya. Namun pengganti Ibrahim, Abu al-Abbas as-Shaffah lebih kuat dan didukung oleh kaum  Syiah dan Khurasan.
Pada tahun 131 H / 748 M, terjadilah pertempuran besar antara pasukan as-Shoffah dan Marwan di sungai Zab. Marwan melarikan diri dan terbunuh pada tahun 132 H. Pada tahun ini pula, tepatnya hari Kamis, tanggal 30 Oktober [31], as-Shaffah dibait menjadi khalifah  pertama Bani Abbasiyah. Ia berhasil merebut kekuasaan pemerintahan dari tangan Dinasti Umayyah. [32]
Dengan terbunuhnya Marwan, maka hancurlah kerajaan dinasti Umayyah jiid I. Namun, ada salah seorang keturunan Dinasti Umayyah jilid I yang berhasil melarikan diri dari kejaran pasukan Abbasiyah dan kelak ia membangun kerajaan besar dinasti Umayyah jilid II di Andalusia.
D.  Kemajuan Dinasti Umayyah Al-Usairy menyebut empat keutamaan Dinasti Umayyah yang dilupakan sejarah.
1. Muawiyah seorang sahabat mulia. Walau pun melakukan kesalahan ijtihad politik, yaitu tidak mengakui pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan khalifah Ali, namun tetap ia berlaku adil karena semua sahabat adil. Marwan bin Hakam, khalifah keempat Dinasti Umayyah adalah lapisan pertama tabi’in yang banyak meriwayatkan hadis dari sejumlah sahabat besar. Abdul Malik seorang ulama besar Madinah, sementara Umar bin Abdul Aziz dianggap sebagai kholifah kelima khulafaur rasydin. Pernyaan ini ia perkuat dengan sebuah sabda Rasulullah, “Manusia terbaik adalah manusia yang berada di masaku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi setelah mereka.”
2. Dinasti Umayyah selalu menghormati kalangan berilmu dan orang-orang yang memiliki sipat-sipat utama.
3. Dinasti Umayyah melakukan terobosan besar di bidang politik kekuasaan Negara dengan menguasai negeri dan daerah hingga sampai ke wilayah Cina di sebelah timur, Andalusia (Spanyol), dan selatan Perancis di sebelah barat.
4. Dinasti Umayyah sukses menghidupkan tanah-tanah mati menjadi produktif yang menjadi andalan hidup msyarakat, membangun infrastruktur yang megah di berbagai daerah kekuasaan. [33].
Pernyataan Al-Usairy patut kita uji kebenaraannya. Hemat kami, poin ketiga dan kempat bisa dipercaya karena bukti-bukti sejarah memang ada. Namun untuk poin pertama dan kedua, tidak ada alasan untuk menyetuji tanpa melakukan kritik. Kalau benar Umayyah pengikut setia Muhammad, Nabi akan kecewa dengan cara berpolitik yang digunakan oleh Umawiyah dan sebagaian khalifah-khalifah Dinasti Umayyah lainnya. Oleh karena itu, keadilan seorang sahabat dengan sendirinya akan hilang karena dosa-dosa besar yang dilakukannya. Karena selain Nabi tidak ada yang dima’shum, kecuali dalam tradisi teologi kaum Syiah.
Dalam sejarah Dinasti Umayyah, mayoritas khalifah-khalifahnya dan para pembantunya tidak menghargai kalangan berilmu kecuali dari kelompoknya dan yang bisa ditundukan. Ulama-ulama yang bukan dari kelompok mereka dan yang tidak bisa ditundukan dikejar dan dibunuh atas perintah raja Dinasti Umayyah.[34]
Oleh karena itu kami akan merumuskan kemajuan-kemajuan Bani Umayyah, tanpa melihat cara mereka mewujudkan kemajuan-kemajuan tersebut.
a)      Perluasan wilayah sampai batas-batas terjauh. Wilayah Islam membentang dari Lautan Atlantik dan Pyreness sampai ke Indus dan perbatasan Cina; dari pantai Biscay hingga Indus dan daratan Cina, serta dari laut Aral hingga sungai Nil. Pada masa kejayaan tersebut, terjadi penaklukan Spanyol dan penaklukan kembali Afrika Utara. Jadi seratus tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad, islam telah menyentuh wilayah yang sangat luas.[35]
Mengenai kehebatan ekspansi Dinasti Umayyah ini, Karen Armstrong menulis bahwa kaum muslimin telah mampu mendirikan imperium mereka di bawah kepemimpinan Dinasti Umayyah. Imperium ini berkuasa hingga kawasan Asia dan Afrika Utara. Ekspansi itu tidak saja diilhami oleh agama, tetapi juga oleh semangant imperialisme Arab.[36]
b)      Nasionalisasi atau arabisasi dalam bidang adminitrasi, yaitu diantaranya dengan mengharuskan menggunakan Bahasa Arab dalam pelayanan administrasi pemerintahan.
c)      Pembentukan enam lembaga atau departemen di pusat pemerintahan.
1)      Diwan al-Kharaj (Departemen Perpajakan) yang berwenang mengelola seluruh keuangan negara, termasuk mengumpulkan pendapatan pajak dan membagikannya untuk masyarakat
2)      Diwan al-Rasa’il (Lembaga Korespondensi) yang bertugas mengkordinir semua hal yang berkaitan dengan surat menyurat.
3)      Diwan al-Khatam (Lembaga Pelayanan Stempel) yang berwenang untuk membuat dan memelihara salinan dari setiap dokumen resmi Negara.
4)      Diwan al-Barid (Lembaga Pelayanan Pos) bertugas untuk menyampaikan berita-berita antara  raja dan para pejabat, termasuk pelayanan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
5)      Diwan al-Qudat (Lembaga Peradilan) yang bertugas memproses dan memutus perkara
6)      Diwan al-Jund (Angkatan Bersenjata) yang bertugas membentuk angkatan bersenjata dan mengkordinirnya.
d)     Pembangunan dan perbaikan infrastruktur, termasuk pembangunan berbagai monumen dan masjid-masjid, diantaranya Kubah Batu di Yerusalem dan Masjid Muawiyah di Damaskus, dan perbaikan Masjid Nabawi di Madinah.
e)      Pembuatan keping mata uang Arab pertama dalam sejarah pemerintahan islam yang diberlakukan dalam transaksi perdagangan.
E.  Penutup Secara umum, Dinasti Umayyah berhasil melahirkan peradaban Islam yang luar biasa. Era Dinasti Umayyah ini menjadi catatan sejarah islam yang berhasil membuktikanan kepada dunia bahwa bahwa kerajaan Islam mampu berdiri tegak dan bersaing dengan dua kerajaan besar non muslim, yaitu Persia dan Bizantium.
Secara moralitas politik dan moralitas keagamaan, Dinasti Umayyah ini mengalami kebobrokan moral. Kecuali Umar ibn Abdul Aziz, tidak satu pun dari khalifah-khalifah Dinasti Umayyah ini yang mencontoh moralitas politik Rasulullah SAW. Kelak kebobrokan moral ini menjadi salah satu pemicu keruntuhan Dinasti Umayyah.
Daftar Pustaka
Al-Husairy, Ahmad. 2008. Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Diterjemahkan dari at-Tarikh al-Islam oleh Samson Rahman. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Amstrong, Karen. 2003. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun. Diterjemahkan dari The History of God oleh Zainul AM. Bandung: Mizan.
Dahlan, Syekh Ihsan Muhammad. Sirojuttholibin . Darul Ihya al-Kutubul al-Arabiyyah.
Hitti, Philip K. 2008.The History of Arabs. Diterjemahkan dari The History of Arabs; From The Earliest Times to The Present oleh R. Cecep Lukman Yasin dan dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Rahmat, Jalaludin.  2002. Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw. Bandung: Muthahhari Press.
Tibrizi, E. Abdul Aziz. Sejarah Kebudayaan Islam; Diktat II .Tangerang: Ponpes Daarul el-Qalam.
Yatim, Badri. 1995. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

[1]Philip K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. Ke-1, hlm..257.
[2]Ibid., hlm. 244.
[3]Jalaludin Rahmat,  Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw. (Bandung: Muthahhari Press. 2002), Cet. Ke-1, hlm. 16.
[4]Ahmad al-Husairy, Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Diterjemahkan dari at-Tarikh al-Islam oleh Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2008), Cet. Ke-6, hlm. 174.
[5]Ibid., hlm. 235.
[6]Ibid., hlm.  236.
[7]Ibid. hlm.177
[8]Hitti, The History of Arabs, hlm. 245.
[9]Terminologi khalifah bisa diganti dengan terminologi raja. Alasannya, (1) penunjukan langsung putra Muawiyah, Yazid, sebagai khalifah menegaskan sebuah sistem kerajaan yang pertama kali muncul dalam konsep tatanegara Islam dan (2) model pemerintahan Dinasti Umayyah banyak meniru kerajaan Bizantium dan Persia.
[10]Diadaptasi dari tulisan al-Husairy, Sejarah Islam, hlm. 18 dan Hitti, The History of Arabs, hlm. 347.
[11]Syekh Ihsan Muhammad Dahlan, Sirojuttholibin (Darul Ihya al-Kutubul al-Arabiyyah), Jilid II, hlm. 70
[12]Hiiti, The History of Arabs, hlm. 245.
[13]Al-Usairy, Sejarah Islam,  hlm. 188-189.
[14]Hitti, The History of Arab, hlm. 244.
[15]Ibid, hlm.242.
[16]E. Abdul Aziz Tibrizi, Sejarah Kebudayaan Islam; Diktat II (Tangerang: Ponpes Daarul el-Qalam), hlm. 7.
[17]Al-Usairy, Sejarah Islam, hlm. 92
[18]Ibid, hlm. 193.
[19]Ibid, hlm. 199.
[20]Ibid, hlm. 200.
[21]Ibid, hlm. 200-202.
[22]Ibid, hlm., 203.
[23]Ibid, hlm. 204
[24]Ibid.
[25]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1995), Cet. Ke-3, hlm.47.
[26]Ibid, hlm.43)
[27]Hitti, The History of Arabs,  hlm. 348.
[28]Al-Usairy, Sejarah Islam, hlm. 209
[29]Ibid,  hlm. 208-209
[30]Ibid, hlm. 210
[31]Hitti, The History of Arabs, hlm. 355
[32]Al-Usairy, Sejarah Islam, hlm, hlm.  211-212.
[33]Ibid, hlm.183.
[34]Rakhmat, Al-Mustafa; Pengantar, hlm. 27-28.
[35]Hitti, The History of Arabs, hlm. 255.
[36]Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun. Diterjemahkan dari The History of God oleh Zainul AM (Bandung: Mizan. 2003), Cet. VI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar