ANTARA ORDE BARU DAN ‘ORDE’ REFORMASI, Refleksi dari seseorang yang merindukan kenyamanan dan kedamaian
Oleh Adeng Muchtar Ghazali
Pergantian kekuasaan dari rezim Orde Baru ke “orde” Reformasi, memang membawa perubahan dan pengaruh terhadap sistem ketatanegaraan, pemerintahan, politik kepartaian, tatanan dan etika kemasyarakatan, kehidupan beragama, perubahan ‘gaya’ dan ‘model’ mencuri uang negara (korupsi), dan lain sebagainya. Pertanyaannya, “apakah kehidupan berbangsa, bermasyarakat, beragama, dan bernegara pada masa reformasi ini lebih baik dari masa orde baru, atau justru sebaliknya ?
Pergantian kekuasaan dari rezim Orde Baru ke “orde” Reformasi, memang membawa perubahan dan pengaruh terhadap sistem ketatanegaraan, pemerintahan, politik kepartaian, tatanan dan etika kemasyarakatan, kehidupan beragama, perubahan ‘gaya’ dan ‘model’ mencuri uang negara (korupsi), dan lain sebagainya. Pertanyaannya, “apakah kehidupan berbangsa, bermasyarakat, beragama, dan bernegara pada masa reformasi ini lebih baik dari masa orde baru, atau justru sebaliknya ?
Untuk menjawab pertanyaan itu, memang diperlukan
‘ukuran’, apa yang dijadikan acuan dalam analisis bandingnya, bahkan
mungkin diperlukan upaya dan pendekatan-pendekatan akademis melalui
penelitian-penelitian lapangan. Namun demikian, sebelum melakukan “yang
seharusnya” kita lakukan dalam menjawab pertanyaan itu, kita hanya bisa
menjawab dengan dua cara yang amat sederhana : “apa yang kita lihat”
dan “apa yang kita rasakan”.
Mari kita lihat berita-berita, baik yang
ditayangkan oleh berbagai TV nasional dan lokal maupun pers, berapa
banyak para pedagang kaki lima, rumah-rumah pemukiman, lahan-lahan
pertanian, dan lainnya yang digusur dan diusir secara paksa oleh aparat
pemerintahan? Diluar konteks ‘aturan, prosedur, dan kepemilikan’ yang
memang harus kita hormati dan patuhi, “manusiawikah cara-cara seperti
itu? Apakah menjadi cita-cita mereka menjadi pedagang asongan, penjual
pinggir jalan, tidur di kolong jembatan, menempati lahan kosong yang
bukan miliknya, tidak punya rumah, tidak mampu mencukupi makan
sehari-hari, apalagi mampu membiayai anak-anaknya untuk ikut merasakan
“nikmatnya” menjadi anak sekolahan?, dan lain sebagainya dan lain
sebagainya. Semua ini adalah tanggung jawab pemerintah, yang punya duit,
punya kebijakan, dan punya segalanya. Paling tidak, pemerintah
mendorong mereka, mensuport mereka, memberi ruang kepada mereka untuk
bisa bergerak dan bisa memperbaiki kehidupannya, bukan hanya mengusir
dan menggusur. Seharusnya kita mengacungi jempol kepada mereka-mereka
‘yang kurang bernasib baik’ itu, karena sealipun merasa tertindas tidak
lantas menjadi pencuri, merampok, menipu orang, dan sejenisnya.
Bandingkan dengan para ‘oknum’ pejabat, birokrat, anggota dewan,
bupati, gubernur, dan lain sebagainya, untuk ‘melengkapi’ kebutuhan
hidupnya yang sudah baik itu melakukan penyimpangan kebijakan
dan korupsi!
Korupsi dan penyimpangan lainnya pada masa orde baru?
Ada dan sulit, sebab tidak setiap oknum pejabat bisa melakukannya.
Tapi, yang saya lihat kayanya sekarang ini para oknum itu lebih mudah melakukan penyimpangan dan korupsi. Coba lihat,
berapa puluh bupati, walikota, anggota legislatif, dan para pejabat
lainnya yang terjerat hukum karena kasus korupsi dan penyimpangan
lainnya. Belum lagi yang ‘tidak terditeksi’ atau belum tertangkap. Saya
menjadi teringat ucapan Rahadi Ramlan pada acara Kick Andy Metro TV
baru-baru ini, ketika menjawab pertanyaan, “kenapa dipenjara?” Jawbannya
sederhana, “karena ditangkap, dan di luar masih banyak yang belum
tertangkap!”
Soal rekrutmen; Kita lihat juga dalam
pemberitaan , berapa banyak kasus dugaan dan penggunaan ijazah palsu
para oknum anggota legislatif dan walikota/bupati sekarang-sekarang ini?
Ini menunjukkan soal rekrutmen yang lemah. Kayanya, dulu itu susah
menjadi anggota legislatif, apalagi menjadi tokoh masyarakat,
cendekiawan, ulama, kyai, dan para politisi yang bisa dan sudah dikenal
kapabilitasnya. Maka, tidak heran kalau yang namanya mentri, gubernur,
walikota/bupati, anggota legislatif, kyai, tokoh agama, dan cendekiawan
lainnya begitu dikenal dan dikenang sampai sekarang. Bandingkan dengan
sekarang, yang menjadi “mentri anu”, kecuali presiden dan wapres, saya
ga begitu tahu. Konon, kalau saya sekarang ingin menjadi anggota
legislatif atau walikota/bupati, gubernur, bahkan presiden, kalau punya
uang.
Yang saya rasakan sekarang ini, merasa “tidak
sejahtera”, kalau dibandingkan dengan masa-masa dulu. Memang, ‘ukuran’
sejahtera masing-masing orang berbeda, tapi itulah yang saya rasakan.
Gajih secara kuantitatif memang naik, tetapi secara kualitatif, dulu
yang saya rasakan cukup untuk biaya makan sehari-hari, tidak untuk
membeli pakaian, bayar uang sekolah anak, dan keperluan lainnya. Tapi
sekarang, yang nota bene gajih bulanan naik, untuk makan sehari-hari aja
tidak ‘mahi’ alias mencukupi!
Mari kita sama-sama melihat dan merasakan untuk kemudian kita perbaiki kekurangan dan kelebihannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar