TULISAN BERJALAN

"KINI TELAH HADIR BINTANG HASANAH TRAVEL dengan penawaran TIKET PESAWAT ter-MURAH. Pesan tiketnya sekarang.. Hubungi kami di 0853 9696 2921"

Jumat, 22 April 2011

Diazab Akibat Kufur Nikmat

Oleh:
Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), pasti azab-Ku sangat berat." (QS Ibrahim: 7).

Syukur adalah sebuah istilah yang sangat familiar di tengah-tengah masyarakat kita, meskipun banyak di antara kita yang belum memahami makna dan hakikat syukur itu sendiri. Secara sederhana, syukur ini dapat diartikan sebagai ungkapan terima kasih atas segala nikmat yang telah Allah berikan, yang diwujudkan melalui optimalisasi seluruh potensi yang dimiliki untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama. Realisasi dari konsep syukur ini tecermin pada manfaat yang diberikan
kepada orang lain. Semakin tinggi rasa syukur kepada Allah, akan semakin besar pula manfaat yang diberikan kepada orang lain. Sehingga, tidak ada ruang sedikit pun bagi egoisme individu untuk bisa berkembang. Dalam Islam, egoisme ini merupakan pintu masuk bagi sikap kufur nikmat ke dalam diri seseorang.

Dengan pemahaman seperti ini, seorang ilmuwan belum dapat dikatakan sebagai hamba yang bersyukur manakala ia belum mengoptimalkan ilmu yang dimilikinya bagi kesejahteraan masyarakat. Ia akan menjadi hamba yang kufur nikmat ketika ilmu yang dimilikinya justru dijadikan sebagai alat untuk menyesatkan dan mengeksploitasi umat. Demikian pula halnya dengan seorang pebisnis, yang juga belum dapat dikatakan sebagai hamba yang bersyukur, apabila harta kekayaan yang diperolehnya hanya ia nikmati sendiri, tanpa ada sedikit pun bagian yang disalurkan dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah.

Dalam konteks yang lebih luas, sebuah bangsa dikatakan sebagai bangsa yang bersyukur apabila bangsa tersebut mampu menciptakan tatanan kehidupan yang adil dan sejahtera. Harmonisasi kehidupan masyarakat akan terwujud melalui komitmen solidaritas dan persaudaraan yang sangat erat antarkomponen bangsa. Perbedaan-perbedaan yang ada akan semakin mengukuhkan sikap saling menghormati dan menghargai, dan bukan menjadi sumber perpecahan dan disintegrasi. Jika bangsa tersebut mudah berpecah belah karena suatu masalah yang sangat sepele, atau tidak mampu menciptakan kemakmuran di tengah keberlimpahan sumber daya, maka boleh jadi bangsa tersebut telah terjerumus ke dalam perilaku kufur nikmat.

Surah Ibrahim (QS 14) ayat 7, secara eksplisit menegaskan hubungan positif antara syukur dan pertambahan nikmat, juga antara kufur nikmat dan turunnya azab. Ketika azab datang sebagai teguran kepada umat manusia, tidak ada satu kekuatan pun yang mampu mencegahnya, kecuali dengan mengembangkan kesadaran untuk kembali pada aturan-Nya.

Tiga Bentuk Azab
Bagaimana sesungguhnya bentuk azab yang akan Allah turunkan sebagai teguran atas perilaku kufur nikmat manusia? Jika merujuk pada QS al-An'am [6]: 65, ada tiga bentuk azab yang akan melanda kehidupan manusia. Pertama, terjadinya malapetaka dari atas maupun dari bawah permukaan bumi. Kedua, terjadinya pertentangan antarkelompok yang sangat dahsyat. Ketiga, terjadinya perang saudara.

Bentuk azab yang pertama lahir sebagai teguran kepada manusia yang sebelumnya telah diuji dengan berbagai bencana di daratan maupun di lautan (QS [6]: 63-64). Pada saat ujian tersebut datang, manusia berlomba-lomba memohon kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya agar dapat diselamatkan dari berbagai musibah yang terjadi. Namun, ketika mereka telah diselamatkan oleh Allah, mereka pun kembali ingkar dan bermaksiat kepada-Nya, serta tidak memedulikan lagi ajaran-Nya. Seolah-olah mereka lupa terhadap pertolongan yang telah Allah berikan.

Karena itu, di dalam menyikapi berbagai peristiwa bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai penjuru dunia, termasuk di Tanah Air, sikap kita yang terbaik adalah dengan bersabar dan proaktif memperbaiki diri untuk tidak lagi bermaksiat kepada-Nya. Bencana-bencana yang terjadi harus dijadikan sebagai tadzkiroh agar kita senantiasa ingat pada ketentuan Allah. Ketika sikap ini kita kembangkan, insya Allah ujung dari bencana tersebut adalah kebaikan atau kemaslahatan, dan bukan azab berkepanjangan.

Selanjutnya yang kedua, perilaku kufur nikmat juga akan menggerus soliditas sosial masyarakat, karena kufur nikmat akan melahirkan penyakit hubbud dunya wakarohiyatul maut, yaitu cinta dunia secara berlebihan dan takut akan kematian. Sebuah penyakit yang merefleksikan dominasi orientasi materialisme dalam kehidupan seseorang, maupun dalam kehidupan masyarakat secara umum. Pragmatisme ini akan membimbing manusia untuk menghalalkan segala macam cara. Orang menjadi tidak peduli terhadap sesama, karena baginya yang terpenting adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya. Sangatlah wajar jika kemudian terjadi konflik horizontal dalam skala besar.

Sedangkan yang ketiga, kufur nikmat akan menjadi pintu masuk terjadinya perang saudara antar sesama kelompok masyarakat. Apa yang terjadi di beberapa negara Islam di Timur Tengah seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi umat ini. Ketika kufur nikmat dipertontonkan melalui dominasi penguasaan aset oleh segelintir elit penguasa yang hidup berfoya-foya, yang diikuti oleh ketidakpedulian mereka terhadap nasib sesama umat di belahan dunia yang lain, serta diinvestasikannya kekayaan ekonomi umat ke negara-negara kapitalis dengan motif mengejar profit semata, dan menyisakan sedikit saja dana yang diinvestasikan ke negara-negara Islam lainnya, maka munculnya perang saudara sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan, sebagai teguran dari Allah SWT.

Oleh karena itu, agar kita terhindar dari ketiga azab ini, mengembangkan sikap syukur nikmat menjadi sebuah keharusan. Ciri individu atau masyarakat yang bersyukur itu ada dua. Pertama, merasakan kedekatan hubungan yang sangat luar biasa dengan Allah SWT. Muncul perasaan cinta dan komitmen untuk senantiasa taat pada segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dan yang kedua, memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Hal ini tecermin dari kuatnya semangat berbagi, baik berbagi ilmu maupun harta, kukuhnya solidaritas sosial antarkomponen umat, serta menjauhkan diri dari berbagai bentuk perilaku zalim terhadap sesama, dan apalagi dari para penguasa kepada rakyatnya. Wallahu a'lam.
(-)
sumber: http://republika.co.id:8080/koran/133/131863/Diazab_Akibat_Kufur_Nikmat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar