TULISAN BERJALAN

"KINI TELAH HADIR BINTANG HASANAH TRAVEL dengan penawaran TIKET PESAWAT ter-MURAH. Pesan tiketnya sekarang.. Hubungi kami di 0853 9696 2921"

Selasa, 26 Juli 2011

Pasar dan Technology

Abu Khaulah Zainal Abidin
Dahulu kala manusia harus berenang untuk menyeberangi hanya sebuah sungai. Mereka harus -dan hanya bisa- berlari sekencang-kencangnya untuk tiba segera di tempat yang dituju. Bersusah payah melompat setinggi-tingginya hanya untuk meraih buah yang hendak dipetik.
Kini mereka mampu berlayar bahkan mengarungi samudra. Cukup memacu kendaraannya untuk tiba di tempat dalam sekejap. Terbang bahkan menembus awan dengan pesawat.
Semua itu karena manusia tak henti berupaya; mengatasi tantanganmempermudah cara, dan meningkatkan hasil. Berbagai ilmu mereka kembangkan, berbagai cara mereka lakukan, dan berbagai alat mereka ciptakan. Itulah teknologi.




Teknologi
adalah yang juga hewan telah mengenalnya sejak awal, jauh sebelum istilah itu diciptakan. Hewan memanipulasi dirinya di dalam rangka menghadapi tantangan alam yang mengancam kehidupannya. Mereka berupaya mempermudah cara untuk melanjutkan kehidupannya,  bahkan bersiasat untuk meningkatkan hasil buruannya.
Jadi, teknologi bukan monopoli manusia,  apalagi harus identik dengan moderen. Ya, fitrah makhluq hidup -yang punya keinginan; mengatasi tantangan atau rintangan, mempermudah cara, dan  meningkatkan hasil atau kualitas hidup- itulah yang menjadi sebab mengapa teknologi ada,  sesederhana apapun bentuk dan cara kerjanya.
Manusia berupaya mengatasi tantangan, sehingga  menjadi punya dari sebelumnya tak punya, menjadi bisa dari sebelumnya tak bisa. Setelah itu, manusia berupaya mempermudah berbagai cara, sehingga lebih mudah untuk punya, lebih mudah untuk bisa, serta lebih mudah meraih hasrat dan menyampaikan maksud,. Tidak cukup sampai di situ, kemudian manusia berupaya meningkatkan apa yang telah  dihasilkan atau diperolehnya, sehingga hidupnya menjadi lebih baik;  tidak sekedar punya…, tidak sekedar bisa….
Dan ketika tahap meningkatkan hasil telah manusia lampaui, ia akan menemukan lagi tantangan baru yang harus diatasi, begitu seterusnya. Juga boleh jadi apa yang bagi seseorang sebagai upaya meningkatkan hasil ternyata bagi yang lain sebagai upaya mengatasi tantangan. Ya, karena dunia senantiasa berubah dan manusia berbeda di dalam kesempatan atau kemampuan. Akan tetapi prioritasnya tetap. Mengatasi tantangan, mempermudah cara, -terakhir-, meningkatkan hasil. Inilah yang logis dan berlaku di dalam segala urusan; makan, pakaian, tempat tinggal, pekerjaan, kesehatan, pendidikan, informasi, transportasi, telekomunikasi, dan….


Pasar…

adalah tempat bertemunya pembeli dengan penjual. Pasar hidup karena penawaran bertemu dengan permintaan.  Pasar hidup selagi pembeli dan penjual sama-sama untung.
Persaingan adalah nafas pasar, sedangkan tawar-menawar denyut nadinya. Dan produk-produk teknologi -ketika masuk pasar- juga tidak luput darinya; persaingan dan tawar-menawar.  Tentu saja pada asalnya pembeli menginginkan  produk  yang:
  1. Paling Tinggi atau Besar Kemampuannya.

Teknologi yang paling tinggi / besar kemampuannya adalah jawaban untuk mengatasi tantangan, mempermudah cara, dan meningkatkan hasil. Setiap orang menginginkannya dan setiap penjualpun menjanjikannya. Di dalam perkara inilah produk teknologi pertama kali saling bersaing. Tetapi yang menikmati persaingan di tingkat ini hanya segelintir orang yang memang sudah mengerti produk dan sudah waktunya untuk menikmati. Selebihnya, hanya yang terbawa arus  menjadi korban peradaban.
2. Paling Mudah Mengoprasionalkannya.

Paling mudah menggunakannya, ringan, atau praktis menjadi alasan berikutnya. Dan para produsen -setelah sama unggul dalam hal kualitas-  berlomba di dalam hal ini. Yang rumit, berat, lemot, dan ribet akan dicampakkan dan tak akan laku di pasaran. Alasan pembeli di dalam perkara ini sangat logis.
3. Paling Murah Harganya.

Bahwa  lebih banyak  yang  memiliki kendala daya beli dari pada yang tidak itulah asal mula prinsip ini. Kalau bukan karena mantera para pedagang, manusia tak akan mabuk barang-barang mewah dan lupa dengan kemampuan daya belinya. Iklan dan promosi yang menyesatkan telah menyihir mereka sehingga tidak lagi berpikir “murah”, bahkan berpikir “pokoknya mahal”, karena yang mahal itu pasti bagus!
Tetapi tetap saja yang terbanyak adalah para pecinta barang murah. Terbukti, banyak sekali yang gampang terpancing membeli barang “asal murah”, meski mereka belum terlalu -bahkan mungkin tidak- membutuhkannya.  Karena alasan “murah” pula lah terkadang pembeli menjadi tidak terlalu rewel terhadap masalah praktis-tidaknya barang.
4. Paling Aman atau Sedikit Efek Sampingannya


Berpikir tentang efek sampingan bukan monopoli karakter manusia “posmo“. Orang jaman baheula pun punya kearifan itu. Teknologi yang mereka ciptakan, mulai dari rumah sampai ke persenjataan,  menunjukkan hal itu.
Hanya saja “moderenisasi” telah membius manusia menjadi tak lagi peka, Selama lebih dari satu abad manusia moderen sempat dibuat mati rasa oleh slogan ” stronger and faster“. Sampai akhirnya ketika berbagai dampak mulai tampak, dan manusia berpikir, “Ada yang salah dengan moderenisasi selama ini“, kesadaran dan kearifan itu pun pulih.
Mulailah “Back to nature“. Dari makanan, pakaian, rumah, sampai ke teknologi kedokteran dan pengobatan. Orang mulai memilih minum obat-obat herbal sebelum memutuskan untuk ke dokter, mencoba dibekam dulu sebelum menyerahkan diri ke rumah sakit.
Teknologi Ramah Lingkungan pun menjadi pilihan penting. Daun pisang kembali dilirik untuk mengambil alih fungsi Styrofoam sebagai pembungkus makanan, emisi otomotif mulai dipersoalkan, sampai ke alat tulis dan mainan anak-anak menjadi harus yang non-toxin.
Tetapi untuk kebanyakan orang kesadaran ini terlalu mewah dan dianggap mengada-ada, meski samar-samar mereka telah mendengar Borax, Formalin, atau Formaldehyde serta bahayanya.
5. Paling Bagus atau Indah Penampilannya.


Logisnya ini adalah pertimbangan yang terakhir setelah empat prinsip terdahulu. Tetapi kenyataannya malah ini yang sering mendominasi pertimbangan. Wajar saja, karena yang pertama kali dilihat orang adalah penampilan, karena kebanyakan manusia suka bermegah-megah, suka dilihat dan dipuji. Sifat semacam inilah yang dimanfaatkan para produsen dan pedagang.
Ya, kira-kira begitulah urutan logis -alasan masyarakat- memilih sebuah produk. Maka jika semua produk bersaing secara sehat, tentu yang laku adalah yang paling canggih, paling praktis, paling murah, paling aman, dan paling indah. Ini artinya kemenangan bagi pembeli.
Akan tetapi, pembeli tidak boleh jadi pemenang. Karenanya, iklan, promosi, serta cara pembayaran telah menjadi perkara yang tidak bisa dipisahkan dari pasar, bahkan sangat menentukan, sehingga mampu mengubah-ubah urutan di atas sesuai dengan kemauan penjual.
Pasar memang -dan selalu- berpihak kepada pembeli, dan pembeli adalah “raja” bagi mereka. Hanya sayang, “raja” ini sering tak berdaya menghadapi kepandirannya sendiri dan kecerdikan (baca: kelicikan) para “pelayannya”, pedagang. Gempuran bertubi-tubi iklan yang memikat dan menyilaukan, bujuk rayu promosi yang menggiurkan -mulai dari diskon, hadiah, sampai ke layanan purna jual-, ditambah lagi dengan kemudahan pembayaran lewat cara-cara angsuran telah membuat “raja” tak lagi mampu berpikir logis dan murni berpihak kepada kebutuhannya sendiri.
Lebih dari itu, para pelayan (baca: pedagang) -yang kelihatannya berseteru dan saling bersaing- ini ternyata punya kepentingan bersama; memaksa “raja” melihat dunia sebagaimana mereka melihatnya. Mereka menjadikan iklan bukan lagi semata alat untuk membuat produk jadi terkenal. Lebih dari itu, mereka menjadikannya alat untuk mempengaruhi sistim nilai sang “raja” dan mengarahkannya kepada gaya hidup tertentu. Maka jadilah “raja” -yang tertawan ini- ibarat pemabuk yang keburu teler sebelum minum. Meski jasadnya masih di tahap “mengatasi tantangan“, namun jiwanya sudah jauh melayang ke tahap “meningkatkan hasil”.
Akhirnya, kualitas, brand image, dan alasan gaya hidup telah membuat “raja” meremehkan harga dan skala prioritas. “Murah dan Praktis” membuat “raja” tak mempedulikan faktor keamanan atau efek sampingan, juga  telah menyihirnya membeli produk yang belum tentu ia butuhkan. Dan sebodoh-bodoh “raja” adalah yang tertipu oleh kemasan. Ya, di dalam budaya pasar semacam inilah kita dibesarkan dan dibiasakan.
Pendidikan…

adalah upaya menjadikan yang dididik bisa berprilaku sesuai dengan harapan terbaik dan cita-cita termulia. Karenanya, pendidikan selalu punya harapan dan keyakinan, bahwa setelah melalui proses pendidikan seseorang akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Lewat pendidikan manusia berharap bisa mengatasi tantangan, mempermudah, dan meningkatkan kualitas hidupnya. Untuk itu, berbagai ilmu tentangnya dikembangkan, berbagai cara dilakukan, dan berbagai alat diciptakan. Maka lahirlah teknologi pendidikan (-walaupun lebih tepat kalau saya katakan teknologi pengajaran-).
Jadilah kemudian; gedung, kelas, jejeran bangku menghadap papan tulis, termasuk taman bermain dengan ayunan berwarna-warni, juga pakaian seragam. Diadakanlah kemudian sekolah, kursus, seminar, atau pelatihan-pelatihan. Disusunlah kurikulum, dicetaklah buku-buku pegangan, disiapkan alat peraga dan laboraturium, diciptakan berbagai metode pembelajaran, serta dibuat alat pengukur hasil belajarnya.
Dan ketika teknologi pendidikan ini -dalam bentuk perangkat keras dan lunaknya- ditawarkan (baca: dipasarkan) , ia berhadapan dengan harapan-harapan masyarakat -yang sama seperti harapan mereka terhadap produk-produk teknologi lainnya- selama ini: yang paling berkualitas, paling murah, paling mudah, paling aman, dan paling cantik.
Dan lagi-lagi budaya pasar ikut bermain. Bukan pedagang namanya kalau tak punya jurus menaklukkan pembeli. Mulai dari brosur serta pamplet bergambar gedung megah dan suasana belajar yang menyenangkan, bermacam-macam pelayanan, sampai ke janji-janji prestasi dan kemudahan mencari lapangan kerja selepas masa belajar menjadi bagian dari promosi pendidikan. Dan sebagaimana slogan “Kesehatan itu Mahal” telah dijadikan pembenaran filosofis mahalnya berobat, “Pendidikan Itu Mahal” juga dijadikan pembenaran filosofis ; pendidikan adalah komoditi.
Ya, sekarang giliran orang tua murid menjadi “raja”.  Dibujuk untuk melompat jauh dari tahap “mengatasi tantangan” langsung ke tahap “meningkatkan hasil“, padahal belum waktunya. Terhuyung-huyung menapakkan langkahnya di bumi yang baru. Terbius oleh slogan-slogan atau brand image yang membuatnya tak punya pilihan selain menerima gaya hidup yang ditawarkan.
Tanggung Jawab Para Pendidik…

dewasa ini bukan hanya mempersiapkan generasi terpelajar. Para pendidik juga bertanggung jawab membebaskan “raja” dari tawanan para pelayannya (pedagang), bukan malah ikut-ikutan menggiring “raja” masuk ke dalam budaya pasar. Mereka bertanggung jawab; mengajak “raja” kembali menapaki buminya sendiri, memulihkan kesadaran dan rasa percaya dirinya, mengajarinya kembali cara melihat skala prioritas -sebagaimana fitrah telah mengajarinya- agar bisa mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan dan hati nuraninya.
Sesungguhnya budaya pasar ini telah menelan begitu banyak korban; terfitnahnya ketulusan belajar-mengajar, pengharapan yang berlebihan kepada lembaga pendidikan, dan   -yang paling parah-  berapa banyak cita-cita telah ditenggelamkan dan bakat-bakat telah dibunuh olehnya. Maka membebaskan pendidikan dari budaya pasar bukan semata bertujuan menghindari komersialisasi pendidikan.  Lebih penting dari itu, membangun budaya tulus di dalam belajar-mengajar, menghilangkan ketergantungan kepada lembaga pendidikan, serta menyelamatkan bakat dan cita-cita generasi masa depan.
Ya, ini adalah juga tanggung jawab para pendidik. Dan tentu saja -kita percaya- masih banyak orang tulus, yang tidak berniat sama sekali menjadikan pendidikan sebagai komoditi. Namun kebanyakan mereka terikat secara sistim, bahkan terbelenggu secara struktural. Apalagi terbukti bahwa tidak ada satupun model lembaga pendidikan dewasa ini yang aman dari sergapan budaya pasar; tidak sekolah, tidak pesantren, tidak juga home schooling, apalagi sekedar lembaga kursus. Karenanya para pendidik juga harus pandai-pandai menjaga jarak dari perangkap pasar. Ya, jika kurang waspada dan tak menjaga jarak, tidak mustahil setiap usaha mulia ini (pendidikan) akan ditangkap oleh para “Impresario” untuk kemudian disulap jadi peluang bisnis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar